Setiap orang selalu senang mengkhayal, bermimpi dan merajut masa depannya masing-masing. Seperti juga aku, yang sedang merajut mimpi-mimpiku di sini. Di tempat ini, sebuah negri antah berantah, yang bisa menjadikan kita; entah Fi’raun. Entah nabi Musa.
Di Mesir ini, banyak orang memulai langkahnya dengan ketidakpastian dan mengakhirinya dengan sesuatu yang nyata. Mungkin lebih pasti, tapi belum tentu indah seperti dikhayalan.
Aku lebih memilih menutup kisah-kisahku, membungkusnya dengan kertas koran agar terkesan intelek, dan dipoles oleh kertas kado agar terkesan menawan, lalu menyimpannya dalam laci dan menguncinya rapat-rapat, agar sejarahku adalah harapan masa depan, bukan luka kelu masa lalu. Dan tak seorang pun mengetahuinya. Tetapi bersahabat dengan mahasiswa asal Eropa membuatku lebih dewasa.
Seperti yang sudah kita janjikan beberapa jam sebelumnya, kita bertemu di halte distrik Hayy Sabi'. Jam enam sore, selepas kajian astronomi Islam. Aku pun berangkat dari apartemenku, cukup tujuh hingga sepuluh menitan menuju flat mahasiswa asal Turkey Ottoman.
Banyak orang bilang, berteman dengan berbagai karakter manusia yang berbeda di Cairo ini mustahil banget. Tapi bagiku, itu nyata. Karena, walaupun kita beda suku bangsa memang punya dunia yang berbeda-beda, sebenernya kita punya satu ritual bareng yang bikin kita selalu bisa bersama. Namanya Tajjamu. Makan bareng di satu waktu dan satu nampan. Enaknya tajjamu bagiku adalah, ketika kita melakukannya, rasanya nggak ada sekat di antara kita. Nggak ada yang paling ganteng, nggak ada yang paling kaya dan nggak ada yang paling pinter. Semuanya sama. Di saat ini juga biasanya kita saling cerita dan ceng-ceng an. Dan semuanya harus kena, nggak ada yang di-spesialin. Uniknya ritual kita yang satu ini, kita cuma melakukannya menjelang magrib. Kenapa? Karena cuma sore harilah kita biasanya bisa berkumpul. Selepas dan selain itu, kita punya kesibukan masing-masing—di dunia masing-masing.
Selalu ritual ini yang kita lakukan bersama ketika waktu luang. Makan sambil saling ceng-ceng an. Tapi, kalo obrolan kita udah mulai ke masa depan, biasanya aku justru jadi yang paling pendiam. Mungkin benar seperti yang aku rasakan selama ini, aku paling nggak tahu akan seperti apa sebaiknya masa depanku sendiri harus aku persiapkan… hehehe... kok ketawa...
Ucapan spesial:
Teşekkür ederim Ibrohim. Bu çok ucuz, Memnun oldum.
8 komentar:
Pasti unik ya bergaul dengan banyak orang dari banyak negara. Kadang aku jg terkaget2 karena apa yang jadi pandangan ttg hidup beda dengan apa yg terbentuk di diri kita.
Kairo.. yang cuma kutau dari cerita religius banget ya..
jangan terlalu pendiem, karakter yg seperti ini kadang menimbulkan salah kaprah diantra lingkup baru.
btw, aku masih tugas di hong kong nih. jika tk ada halangan taon depan tugas kelar...txs dah nyempetin nyapa..
waaa keren yah bisa ketemu dan kumpul bareng orang beda suku bangsa, senangnya bisa dapet kesempatan begitu:) btw merajut masa depa, & merajut mimpi tu hasil rajutanya kaya gimana yah modelnya hehehe;p
Hidup di rantau, di negeri orang, tentu saja akan selalu ada pengalaman yang berbeda yang bakal kamu dapatkan. Optimis ya untuk masa depan kamu.
baca blog kamu bikin aku ingat novel Ayat2 Cintanya kang Abik he..he...
wah... kyk di Banjarmasin kalo ada acara di masjid agung pasti ada yg begitu cara makannya. rame2 gitu deh hehehe
asyik ya ketemu berbagai karakter en budaya :)
Terima kasih, anda sudah membaca catatan sore itu.
# embak lina, di sini gaya hidup ala Fir'aun masih ada loh.
# Thank dian, atas nasehatnya.
# Kak wendy bisa aja. hasil rajutannya tu sesuai apa yg dirajut sebelumnya. entah model Fi’raun. Entah nabi Musa.
# Duh jadi malu, dikasih semangat sama Ani.
# Bener tuh embak lyla, kayak di kampungku.
# Ketemu Laurencia juga syik loh, hehehe.
ternyata ada yg percaya klo km pendiam ya..klo aku cihh percaya klo km hya bisa diam klo lg tidur aja...hhaaaaa..syukurlah dng tmbh sahabat dpt mmbuatmu tambah dewasa..!!
Posting Komentar