Senja belum sepenuhnya beranjak di kaki lembah Muqattam. Beberapa ekor burung gagak tampak beterbangan di atas rimbun pohon-pohon kurma, cemara, limau, dan zaitun yang banyak tumbuh di sepanjang kaki lembah purba itu. Suaranya terdengar memekak, sekalipun parau. Sementara di ujung lembah sebelah barat, benteng Shalahuddin tampak berdiri gagah. Matahari yang tengah surup menjadikan benteng itu tampak hitam, luas, besar, dan gagah dalam panorama siluet. Di tengah-tengah benteng menjulang sebuah kubah besar dengan empat menara yang mengitarinya. Itulah masjid Muhammad Ali Pasha yang tampak menyembul di tengah-tengah benteng, seolah menambah kesan magis panorama benteng Shalahuddin di kala senja. Sisa-sisa kebesaran dan keagungan bangunan itu masih tampak dengan sangat kuat. Saya menikmati pemandangan senja kala dengan latar benteng Shalahuddin tersebut. Saya menikmatinya dari tepian kolam hadiqah Azhar, taman lelembahan luas yang terdapat di sebelah utara benteng. Sekalipun sama-sama berada di kaki lembah, tetapi posisi taman Azhar lebih rendah dari benteng fenomenal yang menyimpan epos perang Salib di abad ke-12 itu. Ketika dilihat dari kejauhan, benteng Shalahuddin tampak seperti kastil raksasa yang mengawang. Bukan sekedar benteng purba Shalahuddin yang bisa dinikmati dari taman Azhar. Tengoklah ke arah Timur. Di sana terhampar area tanah pekuburan dengan bentuknya yang unik. Di peta-peta wisata, area tersebut tertulis dengan nama Mamluk Cemeteries. Kawasan tersebut dibangun pada masa pertengahan dinasti Mamalik, dinasti yang berkuasa di Mesir dari abad ke-13 hingga 16. Kini, bilangan tersebut berubah menjadi area pekuburan yang dijadikan tempat tinggal oleh kalangan menengah ke bawah. Di ujung paling timur, bertautan dengan tepi Mamluk Cemeteries, menjulang lembah Muqattam dengan gagahnya. Ketika sore hari, lembah itu tampak berwarna keemasan. Warna cokelat lembah berpadu dengan warna benderang matahari sore. Di kaki lembah itu juga banyak dikuburkan wali-wali agung, seperti Dzunnun al-Mashri, Ibn Athaillah al-Sakandari (penulis kitab tasawuf al-Hikam), Sulaiman al-Jazuli (penulis kitab pusaka Dalâil al-Khairât), dan lain-lain. Di ujung paling barat hadiqah Azhar, berdiri tembok Qâhirah al-Mu’izz, tembok besar yang mengelilingi kota Kairo peninggalan dinasti Fathimiyyah, dinasti yang menguasai Mesir dari abad ke-10 hingga 13. Pada tahun 973 M, al-Mu’izz li Dinillah (khalifah pertama dinasti Fathimiyyah di Mesir) mendirikan kota baru. Dengan dibantu panglima Gawhar al-Shaqali, al-Mu'izz membangun kota baru itu di sebelah utara kota Islam lawas (Fusthâth dan Fathâ’i), dengan luas area satu kilo meter persegi. Kota baru pun terwujud, lengkap dengan istana, rumah-rumah prajurit, masjid, pemandian, benteng, dan sarana lainnya. Al-Mu'izz menamakan kota baru itu al-Qâhirah (Cairo, Kairo), yang berarti penakluk. Pada tahun 980 M, al-Mu'izz mendirikan masjid dan universitas al-Azhar. Nama al-Azhar dinisbatkan kepada sayyidah Fatimah az-Zahra, puteri baginda Rasul. Para puak dinasti Fathimiyyah sendiri merupakan keturunan ahl bayt, anak cucu sayyidah Fathimah dan sahabat Ali bin Abi Thalib (radhiyallahu ‘anhuma). Dalam catatan sejarah, dinasti Fathimiyyah menjadikan Syi'ah ‘Ismailiyyah sebagai mazhab resmi negaranya. Di tahun 1073 M, saat al-Mustanshir Billah menjadi khalifah ke delapan dinasti Fathimiyyah, ia mengangkat Badr al-Din al-Jamali, seorang Armenia, sebagai perdana menterinya. Al-Mustanshir memerintahkan al-Jamali untuk memperluas kota Kairo seluas tiga kali lipat. Al-Jamali lantas membangun kota tersebut, lengkap dengan tembok yang mengelilinginya. Tinggi tembok tersebut sekitar 25 meter dengan beberapa pintu masuk. Di antara pintu-pintu yang masih tersisa hingga sekarang, adalah Bâb al-Nashr, Bâb al-Futûh, dan Bâb al-Zuwailah. Di sebelah utara tembok Qâhirah al-Mu’izz, terdapat bilangan Darb al-Ahmar. Bilangan yang dibangun pada masa dinasti Mamalik itu berbatasan dengan ujung paling barat benteng Shalahuddin. Ujung tersebut juga berbatasan dengan masjid Sultan Hasan dan Sayyid Ahmad Rifa’i, dua masjid raksasa dengan arsitektur Gotik. Dua masjid ini sudah masuk bilangan Fathâ’i, kota yang dibangun pada masa dinasti Thuluniyyah dan Akhsadiyyah (yang menguasai Mesir di abad ke-9). Kawasan-kawasan di atas lazim juga disebut Islamic Cairo, yang membentang mulai dari Fusthât (selatan), kaki lembah Muqattam (timur), Bâb al-Futûh (utara), hingga Mosqi (barat). Di bilangan tersebut banyak berjibun masjid, kuttâb (tempat mengaji), hammâm (pemandian), istana, tempat penginapan (bayt), dan bangunan-bangunan peninggalan sejarah Islam lainnya. Yang menjadi unik, masing-masing dinasti yang berkuasa mempunyai ciri khas arsitektur bangunan yang silih berbeda-beda. Dinasti Thuluniyyah, misalnya, mempunyai corak arsitektur yang mirip dengan bangunan-bangunan monumental di Baghdad. Pun ketika Mesir menjadi wilayah bagian dinasti Utsmâni (dari abad ke-16 hingga 19), arsitektur bangunannya sangat kental dengan nuansa Turki. Pada masa pemerintahan Islam klasik, kota Kairo menjadi salah satu jantung peradaban dunia, yang berjejer dengan kota-kota Islam lainnya, semisal Bukhara, Samarkand (Uzbekistan), Khawarizm, Ray (Iran), Baghdad (Irak), Damaskus (Syria), Alexandria (Mesir), Qairuan (Tunis), Cordoba, dan Granada (Andalus). Selain khazanah keilmuannya yang kaya raya, Kairo zaman baheula juga menjadi sangat memikat sebab arsitektur dan kotanya yang demikian menawan. Tidak berlebihan kiranya, ketika sejarawan kampium sekelas Ibn Khaldûn (w. 1406) menjuluki Kairo sebagai hadrah al-dunyâ (permata dunia) dan zahrah al-‘âlam (kembang semesta). Tapi itu dulu, beberapa abad lalu, ketika Kairo menjadi salah satu jantung dunia. Sementara kini, Islamic Cairo menjelma menjadi kawasan yang agak kumuh dan kotor. Permata dunia itu kini seakan-akan luruh berserakan, tercecer dan terkubur oleh putaran waktu. Sisa keagungan Islamic Cairo dapat kita nikmati dari atas taman lelembahan Azhar. Bilangan purba itu tampak terhampar di bawah, dan akan menjelma menjadi panorama yang mengagumkan ketika kita melihatnya saat senjakala atau malam purnama. Matahari dan bulan seakan-akan terpancang di atas kota lawas itu. Melihatnya, akan menjadikan kita serasa dituntun waktu, ke sebuah masa ketika kota lawas itu menjadi kembang semesta. Maha suci Allah, yang telah menjadikan semua keindahan dan keagungan. Saat melihat hamparan Islamic Cairo sore itu, ada sebuah getar yang bergemuruh di pelataran hati saya. Sebuah getar yang kuat, seakan-akan berteriak: akankah kita, anak-anak zaman pewaris keagungan itu, dapat mengembalikan masa keemasan sejarah peradaban moyang kita?
6 komentar:
wow risetnya hebat bangett :D
gmn kalau km buat buku gitu? jd data-data ini dijadiin setting tempat. wah, pasti keren banget deh krn detilnya jelas. :D
hanya usul. hehe. soalnya aku tergoda buat bacanya :D
1 kata " keren "
keindahan alam memang tiada duanya...maha besar allah sang maha pencipta....
waduhhh... kapan yak aku ke kairo???
waaa keren pasti yah *berimajinasi*, poto2nya mana dien?
Subhanallah...
Kapan ya masa gemilang itu datang lagi???
Posting Komentar