Pada awalnya, Mirza adalah seorang Muslim yang berkeyakinan sebagaimana Muslim lainnya. Bahkan, ia dikenal sangat sering melakukan perdebatan sengit dengan para agamawan India, termasuk para pendeta dan selalu berakhir dengan kemenangannya.
Untuk mendakwakan diri sebagai seorang nabi, Mirza melalui tahapan yang sangat baik dan sistematis, mengingat ia harus berhadapan dengan para ulama India. Para pemerhati Ahmadiyah menuliskan, bahwa sedikitnya ada lima fase yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad untuk memproklamirkan diri sebagai nabi dan pembawa risalah setelah Nabi Muhammad saw.

Lima fase tersebut adalah:
Fase pertama. Pada fase ini, Mirza hanya mendakwakan dirinya sebagai seorang reformis, sehingga yang dilakukannya adalah dakwah untuk pembaharuan (al-Islah wa al-Tajdid). Ini berlangsung antara tahun 1879-1891. ia menuliskan fase ini dalam bukunya yang berjudul: Barahin Ahmadiyyah. Di sana ia menyebutkan, bahwa ia diperintah Allah untuk memperbaiki dan memperbaharui dunia dan mengajaknya kepada Islam dengan melakukan pembaharuan. Oleh sebab itu, pada fase ini ia hanya mengaku bahwa apa yang dilakukannya adalah merupakan tugas al-Masih Ibn Maryam yang turun di akhir zaman. Ia juga mengatakan bahwa perjuangan tersebut tidak membutuhkan seorang nabi atau wahyu baru. Oleh sebab itu, pada fase ini ia masih sering mendakwahkan keutamaan Islam, kemukjizatan al-Quran serta kenabian Muhammad saw. Oleh sebab itu, Mirza sangat rajin berdebat dengan pemeluk agama lokal yang banyak dianut oleh Bangsa India saat itu.

Fase kedua. Fase ini dimulai pada bulan Desember 1888, Mirza mulai mengajak orang untuk berbai'at padanya. Aktivitas Mirza Ghulam dalam mendakwahkan Islam dan mengalahkan para agamawan zamanya, membuat banyak orang yang simpatik. Hanya saja, pada fase ini, Mirza Ghulam mulai menjelaskaan bahwa ia sering mendapatkan ilham langsung dari Allah dan ia selalu menekankan bahwa dirinya adalah al-Mahdi yang diutus setelah Rasulullah saw. Ia juga menekankan bahwa Nabi Isa telah meninggal (dibunuh). Pendapat ini mulai berbeda dengan pendapatnya yang pertama. Oleh karenanya, ia mulai mentakwilkan berbagai hadits yang menjelaskan akan turunnya al-Masih. Dia mengaku bahwa yang dimaksud al-Masih yang akan turun di akhir zaman adalah dirinya, dengan berbagai tanda yang dimilikinya.

Fase ketiga. Fase ini berlangsung pada tahun 1891, saat ia mendakwakan bahwa al-Masih sudah meninggal dan dirinya al-Mahdi. Ia mulai sering menjelaskan sifat-sifat seorang nabi dan kemungkinan didapatkan oleh seseorang. Pada fase ini, ia belum berani mendakwakan diri secara pribadi sebagai nabi, sampai tiba masanya yang paling tepat.

Fase keempat. Fase ini pada tahun 1900, para pengikut Mirza yang paling dekat mulai menyebutnya sebagai nabi. Tapi kadang-kadang Mirza mengiyakannya dan terkadang menolaknya atau mentakwilkannya. Lalu pada tanggal 7 Agustus 1900, tepatnya hari Jum'at, dimana salah seorang pengikut setianya yang bernama Abdul Karim, secara resmi memproklamirkan Mirza Ghulam sebagai nabi. Dari atas mimbar ia berkata:
"Sesungguhnya Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang utusan Allah dan wajib mengimaninya. Barangsiapa yang beriman kepada para nabi tetapi tidak beriman kepadanya, maka ia telah berlaku diskriminatif terhadap para rasul dan telah telah melangar ayat Allah yang menyifati orang Mukmin: "Kami tidak membeda-bedakan antara satu rasul dari yang lainnya."
Pendaulatan Mirza sebagai nabi ini, dilanjutkan pada hari Jumat berikutnya. Abdul karim berkhutbah lagi. Sambil melirik kepada Mirza Ghulam , ia mengatakan:
"Aku bersaksi bahwa sesungguhnya engkau adalah seorang nabi dan rasul. Jika aku salah ucap, tolong luruskan."
Pernyataan ini mebuat para pengikut Mirza galau, terutama seorang ulama yang bernama Syaikh Muhammad Ahsan al-Amruhi yang sangat marah pada Abdul Karim. Selesai shalat, Abdul karim segera menarik Mirza Ghulam dan meminta justifikasi padanya. Lalu Mirza Ghulam berkata: "Aku mengakuinya dan inilah agama yang aku yakini."
Lalu Syaikh Muhmamd Ahsan berdebat dengan Abdul karim, hingga suara mereka mengeras. Akhirnya, Mirza keluar masjid sambil mebaca firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-Hujurat: 2)

Fase kelima. Ini terjadi semenjak tahun 1901, dimana Mirza mulai mengaku sebagai nabi secara terang-terangan. Dari fase ini, sempurnalah pengakuan Mirza Ghulam sebagai seorang nabi: "Aku mendakwakan diri bahwa aku adalah seorang rasul dan nabi."

Sebagai Muslim, saya sangat mengutuk Ahmadiyah. Mirza Ghulam Ahmad juga merubah-rubah makna ayat Al Quran daripada makna sebenarnya, seperti :

“ Dan kami tidak mengutus engkau wahai Mirza ghulam Ahmad kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam “ ( Kitab Tadzkirah, hal.634 ).

Hal itu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW bersabdah, “Sesungguhnya akan ada tiga puluh orang pendusta di tengah umatku. Mereka semua mengaku nabi. Padahal, aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Tsauban)

Senja belum sepenuhnya beranjak di kaki lembah Muqattam. Beberapa ekor burung gagak tampak beterbangan di atas rimbun pohon-pohon kurma, cemara, limau, dan zaitun yang banyak tumbuh di sepanjang kaki lembah purba itu. Suaranya terdengar memekak, sekalipun parau. Sementara di ujung lembah sebelah barat, benteng Shalahuddin tampak berdiri gagah. Matahari yang tengah surup menjadikan benteng itu tampak hitam, luas, besar, dan gagah dalam panorama siluet. Di tengah-tengah benteng menjulang sebuah kubah besar dengan empat menara yang mengitarinya. Itulah masjid Muhammad Ali Pasha yang tampak menyembul di tengah-tengah benteng, seolah menambah kesan magis panorama benteng Shalahuddin di kala senja.

Sisa-sisa kebesaran dan keagungan bangunan itu masih tampak dengan sangat kuat. Saya menikmati pemandangan senja kala dengan latar benteng Shalahuddin tersebut. Saya menikmatinya dari tepian kolam hadiqah Azhar, taman lelembahan luas yang terdapat di sebelah utara benteng. Sekalipun sama-sama berada di kaki lembah, tetapi posisi taman Azhar lebih rendah dari benteng fenomenal yang menyimpan epos perang Salib di abad ke-12 itu. Ketika dilihat dari kejauhan, benteng Shalahuddin tampak seperti kastil raksasa yang mengawang.

Bukan sekedar benteng purba Shalahuddin yang bisa dinikmati dari taman Azhar. Tengoklah ke arah Timur. Di sana terhampar area tanah pekuburan dengan bentuknya yang unik. Di peta-peta wisata, area tersebut tertulis dengan nama Mamluk Cemeteries. Kawasan tersebut dibangun pada masa pertengahan dinasti Mamalik, dinasti yang berkuasa di Mesir dari abad ke-13 hingga 16. Kini, bilangan tersebut berubah menjadi area pekuburan yang dijadikan tempat tinggal oleh kalangan menengah ke bawah.

Di ujung paling timur, bertautan dengan tepi Mamluk Cemeteries, menjulang lembah Muqattam dengan gagahnya. Ketika sore hari, lembah itu tampak berwarna keemasan. Warna cokelat lembah berpadu dengan warna benderang matahari sore. Di kaki lembah itu juga banyak dikuburkan wali-wali agung, seperti Dzunnun al-Mashri, Ibn Athaillah al-Sakandari (penulis kitab tasawuf al-Hikam), Sulaiman al-Jazuli (penulis kitab pusaka Dalâil al-Khairât), dan lain-lain.

Di ujung paling barat hadiqah Azhar, berdiri tembok Qâhirah al-Mu’izz, tembok besar yang mengelilingi kota Kairo peninggalan dinasti Fathimiyyah, dinasti yang menguasai Mesir dari abad ke-10 hingga 13. Pada tahun 973 M, al-Mu’izz li Dinillah (khalifah pertama dinasti Fathimiyyah di Mesir) mendirikan kota baru. Dengan dibantu panglima Gawhar al-Shaqali, al-Mu'izz membangun kota baru itu di sebelah utara kota Islam lawas (Fusthâth dan Fathâ’i), dengan luas area satu kilo meter persegi. Kota baru pun terwujud, lengkap dengan istana, rumah-rumah prajurit, masjid, pemandian, benteng, dan sarana lainnya. Al-Mu'izz menamakan kota baru itu al-Qâhirah (Cairo, Kairo), yang berarti penakluk.

Pada tahun 980 M, al-Mu'izz mendirikan masjid dan universitas al-Azhar. Nama al-Azhar dinisbatkan kepada sayyidah Fatimah az-Zahra, puteri baginda Rasul. Para puak dinasti Fathimiyyah sendiri merupakan keturunan ahl bayt, anak cucu sayyidah Fathimah dan sahabat Ali bin Abi Thalib (radhiyallahu ‘anhuma). Dalam catatan sejarah, dinasti Fathimiyyah menjadikan Syi'ah ‘Ismailiyyah sebagai mazhab resmi negaranya.

Di tahun 1073 M, saat al-Mustanshir Billah menjadi khalifah ke delapan dinasti Fathimiyyah, ia mengangkat Badr al-Din al-Jamali, seorang Armenia, sebagai perdana menterinya. Al-Mustanshir memerintahkan al-Jamali untuk memperluas kota Kairo seluas tiga kali lipat. Al-Jamali lantas membangun kota tersebut, lengkap dengan tembok yang mengelilinginya. Tinggi tembok tersebut sekitar 25 meter dengan beberapa pintu masuk. Di antara pintu-pintu yang masih tersisa hingga sekarang, adalah Bâb al-Nashr, Bâb al-Futûh, dan Bâb al-Zuwailah.

Di sebelah utara tembok Qâhirah al-Mu’izz, terdapat bilangan Darb al-Ahmar. Bilangan yang dibangun pada masa dinasti Mamalik itu berbatasan dengan ujung paling barat benteng Shalahuddin. Ujung tersebut juga berbatasan dengan masjid Sultan Hasan dan Sayyid Ahmad Rifa’i, dua masjid raksasa dengan arsitektur Gotik. Dua masjid ini sudah masuk bilangan Fathâ’i, kota yang dibangun pada masa dinasti Thuluniyyah dan Akhsadiyyah (yang menguasai Mesir di abad ke-9).

Kawasan-kawasan di atas lazim juga disebut Islamic Cairo, yang membentang mulai dari Fusthât (selatan), kaki lembah Muqattam (timur), Bâb al-Futûh (utara), hingga Mosqi (barat). Di bilangan tersebut banyak berjibun masjid, kuttâb (tempat mengaji), hammâm (pemandian), istana, tempat penginapan (bayt), dan bangunan-bangunan peninggalan sejarah Islam lainnya. Yang menjadi unik, masing-masing dinasti yang berkuasa mempunyai ciri khas arsitektur bangunan yang silih berbeda-beda. Dinasti Thuluniyyah, misalnya, mempunyai corak arsitektur yang mirip dengan bangunan-bangunan monumental di Baghdad. Pun ketika Mesir menjadi wilayah bagian dinasti Utsmâni (dari abad ke-16 hingga 19), arsitektur bangunannya sangat kental dengan nuansa Turki.

Pada masa pemerintahan Islam klasik, kota Kairo menjadi salah satu jantung peradaban dunia, yang berjejer dengan kota-kota Islam lainnya, semisal Bukhara, Samarkand (Uzbekistan), Khawarizm, Ray (Iran), Baghdad (Irak), Damaskus (Syria), Alexandria (Mesir), Qairuan (Tunis), Cordoba, dan Granada (Andalus). Selain khazanah keilmuannya yang kaya raya, Kairo zaman baheula juga menjadi sangat memikat sebab arsitektur dan kotanya yang demikian menawan. Tidak berlebihan kiranya, ketika sejarawan kampium sekelas Ibn Khaldûn (w. 1406) menjuluki Kairo sebagai hadrah al-dunyâ (permata dunia) dan zahrah al-‘âlam (kembang semesta).

Tapi itu dulu, beberapa abad lalu, ketika Kairo menjadi salah satu jantung dunia. Sementara kini, Islamic Cairo menjelma menjadi kawasan yang agak kumuh dan kotor. Permata dunia itu kini seakan-akan luruh berserakan, tercecer dan terkubur oleh putaran waktu.

Sisa keagungan Islamic Cairo dapat kita nikmati dari atas taman lelembahan Azhar. Bilangan purba itu tampak terhampar di bawah, dan akan menjelma menjadi panorama yang mengagumkan ketika kita melihatnya saat senjakala atau malam purnama. Matahari dan bulan seakan-akan terpancang di atas kota lawas itu. Melihatnya, akan menjadikan kita serasa dituntun waktu, ke sebuah masa ketika kota lawas itu menjadi kembang semesta.

Maha suci Allah, yang telah menjadikan semua keindahan dan keagungan. Saat melihat hamparan Islamic Cairo sore itu, ada sebuah getar yang bergemuruh di pelataran hati saya. Sebuah getar yang kuat, seakan-akan berteriak: akankah kita, anak-anak zaman pewaris keagungan itu, dapat mengembalikan masa keemasan sejarah peradaban moyang kita?

Esensi Cinta

Barangkali cinta itu memiliki beberapa sebab, dan cinta itu sendiri akan hilang jika sebabnya telah sirna (artinya bersamaan dengan hilangnya sebab, cinta itu akan berakhir); barangsiapa mencintai karena sesuatu, maka sesuatu itu akan selalu tergantung apa adanya). Wal’Lâhu a’lam.





















Genre : Drama Dokumenter
Pemain : Affan Ardian, Istianah, Rahmadi Wibowo, Wahyudi Abdurrahim, Saifudin Zuhdi, Dedi Jamaluddin, Misbachul Munir
Sutradara : Mufti Afif
Editor : Rudi Candra
Naskah : Rudi Candra & A ginanjar S
Produksi : Lingkaran Sastra PAPYRUS Cairo & Diandra El-Ikhlasy Production
Tayang : 21 Februari 2007
Klasifikasi Penonton : 13 Tahun Keatas (13+)

Setidaknya, sepanjang bentang sejarah, terdapat empat raksasa yang menjadi penghulu filsafat kritis-rasionalis, yaitu Aristotetes [filosof Yunani kuno], Ibn Rushd [filosof Arab-Islam], Sant Thomas Aquina [filosof Eropa abad pertengahan] dan Immanuel Kant [filosof Eropa masa pencerahan]. Keempat raksasa tersebut telah meletakkan dasar berfikir kritis-rasionalis dalam bangunan sejarah filsafat, yang pada gilirannya memberikan pijar pencerahan untuk kehidupan dunia secara lebih luas.

Keempatnya mempunyai keterkaitan antara satu sama lain perihal epistemologi pemikiran yang mereka bangun, seolah-olah keempatnya adalah mata rantai yang utuh. Aristoteles sebagai peletak dasar tradisi berfikir secara rasional, kemudian dikaji dan dikomentari oleh Ibn Rushd, yang pada gilirannya Sant Thomas Aquina dan Immanuel Kant dapat menikmati dan mengkaji lebih jauh pemikiran Aristoteles [beserta filosof-filosof Yunani kuno lainnya] dari beberapa buku komentar tulisan Ibn Rushd. Sejarah mencatat, jika Sant Aquina dan Kant adalah dua filosof masa renaissance yang menggiring arah berfikir Eropa menuju epistemologi rasionalis ala Aristoteles.

Dari keempat raksasa tersebut, Ibn Rushd adalah satu-satunya filosof yang berasal dari kalangan Arab-Islam. Yang menarik untuk dibicarakan lebih jauh adalah keberadaan Ibn Rushd yang mendapat apresiasi tinggi di kalangan publik Eropa-Barat, sementara bernasib mengenaskan di kalangan publiknya sendiri, Arab-Islam. Meminjam gugatan filosof Mesir-Arab Athef Iraqi, bahwa kita—kalangan Arab-Islam—secara tidak sadar telah menzalimi Ibn Rushd sebab menyia-nyiakan figur dan pemikiran Ibn Rushd dalam panggung pemikiran dan kehidupan selama delapan abad lamanya.

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger template by blog forum